BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Aceh yang terkenal dengan sebutan,
“Kota Serambi Mekkah” merupakan tempat di mana berkembangnya agama Islam
pertama di Indonesia. Diperlihatkan dari letak geografisnya, dimana Aceh sendiri
terletak di ujung barat Pulau Sumatera dan dekat dengan Selat Malaka yang saat
itu menjadi pintu pusat lalu lalangnya kapal-kapal saudagar antara belahan bumi
Barat dan Timur dapat diperhitungkan sejak awal abad ke 1.
Namun dengan sendirinya meningkat lalulintas perdagangan dan
kemampuan hidup masyarakat sekaligus memungkinkan terbangunnya suatu
pemerintahan atau kerajaan-kerajaan terutama di Aceh seperti Kerajaan Jeumpa,
Lamuri, Samudra Pasai dan lain-lain yang menganut agama Islam.
Pada saat itu Sumatera sudah kaya akan hasil Bumi
dan Alamnya jadi tidak salah pada masa itu bangsa India menyebutnya dengan
sebutan Swarnadwipa (Pulau Emas).
Selain berdagang, para
saudagar-saudagar tersebut juga pelan-pelan menyebarkan agama yang mereka
pahami dan dibawa dari bangsa mereka, salah satunya yaitu agama Islam. Sebelum
masuknya agama Islam ke Aceh, terlebih dahulu sudah ada agama serta
kerajaan-kerajaan yang bercorak Hindu dan budha di Aceh.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Kerajaan
Islam Jeumpa
Kerajaan Jeumpa Aceh, berdasarkan
Ikhtisar Radja Jeumpa yang di tulis Ibrahim Abduh, yang disadurnya dari hikayat
Radja Jeumpa adalah sebuah Kerajaan yang benar keberadaannya pada sekitar abad
ke 777 Masehi yang berada di sekitar daerah perbukitan mulai dari pinggir
sungai Peudada di sebelah barat sampai Pante Krueng Peusangan di sebelah timur.
Istana Raja Jeumpa terletak di desa Blang Seupeueng yang dipagari di sebelah
utara, sekarang disebut “Cot Cibrek Pintoe Ubeuet”.
Masa itu Desa Blang Seupeueng
merupakan permukiman yang padat penduduknya dan juga merupakan kota bandar
pelabuhan besar, yang terletak di Kuala Jeumpa.
Menurut silsilah keturunan
Sultan-Sultan Melayu, yang dikeluarkan oleh Kerajaan Brunei Darussalam dan
Kesultanan Sulu-Mindanao, Kerajaan Islam Jeumpa dipimpin oleh seorang Pangeran
dari Parsia (India Belakang ) yang bernama Syahriansyah Salman atau Sasaniah
Salman yang kawin dengan Puteri Mayang Seuludong dan memiliki beberapa anak,
antara lain Syahri Poli, Syahri Tanti, Syahri Nuwi, Syahri Dito dan Makhdum
Tansyuri yang menjadi ibu daripada Sultan pertama Kerajaan Islam Perlak yang
berdiri pada tahun 805 Masehi.
Menurut penelitian Sayed Dahlan
al-Habsyi, Syahri adalah gelar pertama yang digunakan keturunan Nabi Muhammad
di Nusantara sebelum menggunakan gelar Meurah, Habib, Sayid, Syarief, Sunan,
Teuku dan lainnya. Syahri diambil dari nama istri Sayyidina Husein bin Ali,
Puteri Syahribanun, anak Maha Raja Persia terakhir yang ditaklukkan Islam.
Anak beliau, Syahri Nuwi adalah
patron dari rombongan Nakhoda Khalifah, bahkan ada yang menganggap kedatangan
rombongan ini atas permintaan Syahri Nuwi untuk mengembangkan kekuatan Ahlul
Bayt atau keturunan Nabi SAW di Nusantara setelah mendapat pukulan di Arab dan
Parsia. Itulah sebabnya, hubungan Syahri Nuwi dengan rombongan Nakhoda
Khalifah yang bermazhab Syi’ah sangat dekat dan menganggap mereka sebagai bagian
keluarga.
Di bawah pemerintahan Pangeran
Salman, Kerajaan Islam Jeumpa berkembang pesat menjadi sebuah kota baru yang
memiliki hubungan luas dengan Kerajaan-Kerajaan besar lainnya. Potensi,
karakter, pengetahuan dan pengalaman Pangeran Salman sebagai seorang bangsawan
calon pemimpin di Kerajaan maju dan besar seperti Persia yang telah mendapat
pendidikan khusus sebagaimana lazimnya Pangeran Islam, tentu telah mendorong
pertumbuhan Kerajaan Jeumpa menjadi salah satu pusat pemerintahan dan
perdagangan yang berpengaruh di sekitar pesisir utara pulau Sumatra.
Jeumpa sebagai Kerajaan Islam
pertama di Nusantara memperluas hubungan diplomatik dan perdagangannya dengan
Kerajaan-Kerajaan lainnya, baik di sekitar Pulau Sumatera atau negeri-negeri
lainnya, terutama Arab dan Cina. Banyak tempat di sekitar Jeumpa berasal dari
bahasa Parsi, yang paling jelas adalah Bireuen, yang artinya kemenangan,
Untuk mengembangkan Kerajaannya,
Pangeran Salman telah mengangkat anak-anaknya menjadi Meurah-Meurah baru dan
menjadi pemimpin di berbagai wilayah.
Kewilayah barat, berhampiran dengan
Barus, Fansur, Lamuri yang sudah berkembang terlebih dahulu, beliau mengangkat
anaknya, Syahri Poli menjadi Meurah mendirikan Kerajaan Poli yang selanjutnya
berkembang menjadi Kerajaan Pidie.
Kesebelah timur, beliau mengangkat
anaknya Syahr Nawi sebagai Meurah di sebuah kota baru bernama Perlak pada tahun
804. Namun dalam perkembangannya, Kerajaan Perlak tumbuh pesat menjadi kota
pelabuhan baru terutama setelah kedatangan rombongan keturunan Nabi yang
dipimpin Nakhoda Khalifah berjumlah 100 orang.
Syahri Nuwi mengawinkan adiknya
Makhdum Tansyuri dengan salah seorang tokoh rombongan tersebut bernama Ali bin
Muhammad bin Jafar Sadik, cicit dari Nabi Muhammad saw. Dari perkawinan ini
lahir seorang putra bernama Sayyid Abdul Aziz, dan pada 1 Muharram 225 H atau
tahun 840 M dilantik menjadi Raja dari Kerajaan Islam Perlak dengan gelar
Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Abdul Azis Syah.
Melalui jalur perkawinan ini,
hubungan erat terbina antara Kerajaan Islam Jeumpa dengan Kerajaan Islam
Perlak.
Karena wilayahnya yang strategis
Kerajaan Islam Perlak akhirnya berkembang menjadi sebuah Kerajaan yang maju
menggantikan peran dari Kerajaan Islam Jeumpa.
Setelah tampilnya Kerajaan Islam
Perlak sebagai pusat pertumbuhan perdagangan dan kota pelabuhan yang baru,
peran Kerajaan Islam Jeumpa menjadi kurang menonjol. namun demikian, kerajaan
ini tetap eksis, yang mungkin berubah fungsi sebagai sebuah kota pendidikan
bagi kader-kader ulama dan pendakwah Islam, karena diketahui bahwa Puteri
Jeumpa yang menjadi ibunda Raden Fatah adalah keponakan dari Sunan Ampel.
Setelah berdirinya beberapa Kerajaan
Islam baru sebagai pusat Islamisasi Nusantara seperti Kerajaan Islam Perlak
(840an) dan Kerajaan Islam Pasai (1200an), Kerajaan Islam Jeumpa yang menjalin
kerjasama diplomatik tetap memiliki peran besar dalam Islamisasi Nusantara,
khususnya dalam penaklukkan beberapa kerajaan besar Jawa-Hindu seperti
Majapahit misalnya. Di kisahkan bahwa Raja terakhir Majapahit Brawijaya V
memiliki seorang istri yang berasal dari Jeumpa (Champa), yang menurut pendapat
Raffless berada di wilayah Aceh dan bukan di Kamboja sebagaimana difahami
selama ini. Puteri cantik jelita yang terkenal dengan nama Puteri Jeumpa
(Puteri Champa) ini adalah anak dari salah seorang Raja Muslim Jeumpa yang juga
keponakan dari pemimpin para Wali di Jawa, Sunan Ampel dan Maulana Malik
Ibrahim.
Mereka adalah para Wali keturunan
Nabi Muhammad yang dilahirkan, dibesarkan dan dididik di wilayah Aceh, baik
Jeumpa, Perlak, Pasai, Kedah, Pattani dan sekitarnya.
Dan merekalah konseptor penaklukan
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan gerakannya yang terkenal dengan sebutan
Wali Songo atau Wali Sembilan. Perkawinan Puteri Muslim Jeumpa Aceh dengan Raja
terakhir Majapahit melahirkan Raden Fatah, yang dididik dan dibesarkan oleh
para Wali, yang selanjutnya dinobatkan sebagai Sultan pada Kerajaan Islam
Demak, yang ketahui sebagai Kerajaan Islam pertama di pulau Jawa. Kehadiran
Kerajaan Islam Demak inilah yang telah mengakhiri riwayat kegemilangan Kerajaan
Jawa-Hindu Majapahit.
Sejarah ini dapat diartikan sebagai
keberhasilan strategi Kerajaan Islam Jeumpa Aceh yang kala itu sudah
berafiliasi dengan Kerajaan Islam Pasai yang telah menggantikan peranan
Kerajaan Islam Perlak dalam menaklukkan dan mengalahkan sebuah kerajaan besar
Jawa-Hindu Majapahit dan mengakhiri sejarahnya dan menjadikan pulau Jawa
sebagai wilayah kekuasaan Islam di bawah Kerajaan Islam Demak yang dipimpin
oleh Raden Fatah, yang ibunya berasal dari Kerajaan Jeumpa di Aceh. Jadi dapat
dikatakan bahwa, Kerajaan Jeumpa Acehlah yang telah mengalahkan dominasi
Kerajaan Jawa-Hindu Majapahit dengan strategi penaklukan lewat perkawinan yang
dilakukan oleh para Wali Sembilan, yang memiliki garis hubungan dengan Jeumpa,
Perlak, Pasai ataupun Kerajaan Aceh Darussalam.
Setelah Kerajaan Islam Perlak yang
berdiri pada tahun 805 Masehi tumbuh dan berkembang, maka pusat aktivitas
Islamisasi nusantarapun berpindah ke wilayah ini. Dapat dikatakan bahwa
Kerajaan Islam Perlak adalah kelanjutan atau pengembangan daripada Kerajaan
Islam Jeumpa yang sudah mulai menurun peranannya. Namun secara diplomatik kedua
Kerajaan ini merupakan sebuah keluarga yang terikat dengan aturan Islam yang
mengutamakan persaudaraan. Apalagi para Sultan adalah keturunan dari Nabi
Muhammad yang senantiasa mengutamakan kepentingan agama Islam di atas segala
kepentingan duniawi dan diri mereka. Bahkan dalam silsilahnya, Sultan Perlak
yang ke V berasal dari keturunan Kerajaan Islam Jeumpa.
B. Kerajaan Islam Peureulak
Kesultanan Peureulak
adalah kerajaan Islam
di Indonesia yang berkuasa di sekitar wilayah Peureulak, Aceh
Timur, Aceh sekarang antara tahun 840
sampai dengan tahun 1292. Perlak atau Peureulak
terkenal sebagai suatu daerah penghasil kayu
perlak, jenis kayu yang sangat bagus
untuk pembuatan kapal, dan karenanya daerah ini dikenal
dengan nama Negeri Perlak.
Hasil alam dan posisinya yang strategis membuat Perlak berkembang sebagai pelabuhan niaga yang maju pada abad ke-8, disinggahi oleh kapal-kapal yang
antara lain berasal dari Arab dan Persia. Hal ini membuat berkembangnya masyarakat Islam
di daerah ini, terutama sebagai akibat perkawinan
campur antara saudagar muslim dengan perempuan setempat.
Naskah Hikayat Aceh mengungkapkan bahwa penyebaran Islam di
bagian utara Sumatera dilakukan oleh seorang ulama Arab yang bernama Syaikh
Abdullah Arif pada tahun 506 H atau 1112 M. Lalu berdirilah kesultanan
Peureulak.
Sultan pertama Perlak adalah Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abdul Azis Syah, yang beraliran Syiah
dan merupakan keturunan Arab dengan perempuan setempat, yang mendirikan
Kesultanan Perlak pada 1 Muharram 225 H (840
M). Ia mengubah nama ibukota kerajaan dari Bandar Perlak menjadi Bandar
Khalifah. Sultan ini bersama istrinya, Putri Meurah Mahdum Khudawi, kemudian
dimakamkan di Paya
Meuligo, Peureulak, Aceh Timur.
Pada masa pemerintahan sultan ketiga, Sultan Alaiddin Sayyid
Maulana Abbas Syah, aliran Sunni mulai masuk ke
Perlak. Setelah wafatnya sultan pada tahun 363 H (913
M), terjadi perang saudara
antara kaum Syiah dan Sunni sehingga selama dua tahun berikutnya tak ada
sultan, kaum Syiah memenangkan perang dan pada tahun 302 H (915
M), Sultan Alaiddin Sayyid Maulana Ali Mughat Syah dari aliran Syiah naik
tahta.
Pada akhir pemerintahannya terjadi lagi pergolakan antara
kaum Syiah dan Sunni yang kali ini dimenangkan oleh kaum Sunni sehingga
sultan-sultan berikutnya diambil dari golongan Sunni.
Pada tahun 362 H (956 M), setelah
meninggalnya sultan ketujuh, Sultan Makhdum Alaiddin Abdul Malik Syah Johan
Berdaulat, terjadi lagi pergolakan selama kurang lebih empat tahun antara Syiah
dan Sunni yang diakhiri dengan perdamaian dan pembagian kerajaan menjadi dua bagian:
·
Perlak Pesisir (Syiah)
dipimpin oleh Sultan Alaiddin Syed Maulana Shah (986
– 988)
·
Perlak Pedalaman
(Sunni) dipimpin oleh Sultan Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Shah Johan
Berdaulat (986 – 1023)
Sultan Alaiddin Syed Maulana Syah meninggal sewaktu Kerajaan Sriwijaya
menyerang Perlak dan seluruh Perlak kembali bersatu di bawah pimpinan Sultan
Makhdum Alaiddin Malik Ibrahim Syah Johan yang melanjutkan perjuangan melawan
Sriwijaya hingga tahun 1006.
Sultan ke-17 Perlak, Sultan Makhdum Alaiddin Malik Muhammad
Amin Syah II Johan Berdaulat (memerintah 1230
– 1267) menjalankan politik persahabatan
dengan menikahkan dua orang putrinya dengan penguasa negeri tetangga Peureulak:
· Putri Ratna Kamala,
dikawinkan dengan Raja Kerajaan Malaka,
Sultan Muhammad Shah
(Parameswara).
· Putri Ganggang,
dikawinkan dengan Raja Kerajaan
Samudera Pasai, Al Malik Al-Saleh.
Sultan terakhir Perlak adalah sultan ke-18, Sultan Makhdum
Alaiddin Malik Abdul Aziz Johan (memerintah 1267
– 1292). Setelah ia meninggal, Perlak
disatukan dengan Kerajaan Samudera Pasai di bawah pemerintahan sultan Samudera
Pasai, Sultan Muhammad Malik Al Zahir, putra Al Malik Al-Saleh.
C.
Kerajaan Islam Lamuri
Kerajaan ini terletak di daerah kabupaten Aceh Besar. Nama
"Lamuri" masih terbaca dalam nama gampong (desa) Lamreh. Kerajaan
ini adalah kerajaan yang lebih dahulu muncul sebelum berdirinya Kesultanan
Aceh Darussalam, dan merupakan cikal bakal kesultanan tersebut. Di
Lamreh terdapat makam Sultan Sulaiman bin Abdullah (wafat
1211), penguasa pertama di Indonesia yang
diketahui menyandang gelar "Sultan".
Penemuan arkeologis pada tahun 2007 mengungkapkan adanya nisan Islam tertua di
Asia Tenggara yaitu pada tahun 398 H/1071 M.
Baik naskah dan cerita setempat maupun sumber asing
menyebut nama kerajaan yang mendahului Aceh : "Lamuri",
"Ramni", "Lambri", "Lan-li",
"Lan-wu-li". Penulis Tionghoa Zhao Rugua (1225)
misalnya mengatakan bahwa "Lan-wu-li" setiap tahun mengirim upeti ke
"San-fo-chi" (Sriwijaya). Nagarakertagama (1365) menyebut "Lamuri"
di antara daerah yang oleh Majapahit diaku
sebagai bawahannya. Dalam Suma Oriental-nya, penulis Portugis Tomé Pires mencatat
bahwa Lamuri tunduk kepada raja Aceh.
D. Kerajaan
Samudra Pasai
Kerajaan ini juga dikenal dengan Samudera Darussalam, atau Samudera Pasai, adalah kerajaan Islam yang
terletak di pesisir pantai utara Sumatera, kurang
lebih di sekitar Kota
Lhokseumawe dan Aceh Utara, Provinsi Aceh, Indonesia.
Kerajaan ini didirikan oleh Marah
Silu, yang bergelar Sultan Malik
as-Saleh, sekitar tahun 1267. Keberadaan
kerajaan ini juga tercantum dalam kitab Rihlah
ila l-Masyriq (Pengembaraan ke Timur) karya Abu Abdullah ibn Batuthah
(1304–1368), musafir Maroko yang
singgah ke negeri ini pada tahun 1345. Kesultanan
Pasai akhirnya runtuh setelah serangan Portugal pada tahun 1521.
Berdasarkan Hikayat Raja-raja Pasai,
menceritakan tentang pendirian Pasai oleh Marah Silu, setelah sebelumnya ia
menyingkirkan seorang raja yang bernama Sultan Malik al-Nasser. Marah Silu ini
sebelumnya berada pada satu kawasan yang disebut dengan Semerlanga kemudian setelah naik tahta bergelar Sultan Malik
as-Saleh, ia wafat pada tahun 696 H atau 1297 M.
Pemerintahan Sultan Malik as-Saleh
kemudian dilanjutkan oleh putranya Sultan Muhammad Malik az-Zahir dari
perkawinannya dengan putri Raja Perlak. Pada masa
pemerintahan Sultan Muhammad Malik az-Zahir, koin emas sebagai mata uang telah
diperkenalkan di Pasai, seiring dengan berkembangnya Pasai menjadi salah satu
kawasan perdagangan sekaligus tempat pengembangan dakwah agama Islam. Kemudian
sekitar tahun 1326 ia meninggal dunia dan digantikan oleh anaknya Sultan Mahmud Malik az-Zahir dan
memerintah sampai tahun 1345.
Pada masa pemerintahannya, ia
dikunjungi oleh Ibn Batuthah, kemudian menceritakan bahwa sultan di negeri Samatrah (Samudera) menyambutnya
dengan penuh keramahan, dan penduduknya menganut Mazhab
Syafi'i. Selanjutnya
pada masa pemerintahan Sultan Ahmad Malik az-Zahir putra
Sultan Mahmud Malik az-Zahir, datang serangan dari Majapahit antara
tahun 1345 dan 1350, dan menyebabkan Sultan Pasai terpaksa melarikan diri dari
ibukota kerajaan.
Pusat pemerintahan Kesultanan Pasai
terletaknya antara Krueng Jambo Aye
(Sungai Jambu Air) dengan Krueng Pase
(Sungai Pasai), Aceh Utara. Menurut
ibn Batuthah yang menghabiskan waktunya sekitar dua minggu di Pasai,
menyebutkan bahwa kerajaan ini tidak memiliki benteng pertahanan dari batu, namun
telah memagari kotanya dengan kayu, yang
berjarak beberapa kilometer dari pelabuhannya. Pada kawasan inti kerajaan ini
terdapat masjid, dan pasar serta
dilalui oleh sungai tawar yang bermuara ke laut.
Pada masa pemerintahan Sultan
Muhammad Malik az-Zahir, Kerajaan
Perlak telah menjadi bagian dari kedaulatan Pasai, kemudian
ia juga menempatkan salah seorang anaknya yaitu Sultan Mansur di Samudera.
Namun pada masa Sultan Ahmad Malik az-Zahir, kawasan Samudera sudah menjadi
satu kesatuan dengan nama Samudera Pasai yang tetap berpusat di Pasai.
Menjelang masa-masa akhir
pemerintahan Kesultanan Pasai, terjadi beberapa pertikaian di Pasai yang
mengakibatkan perang
saudara. Sulalatus
Salatin menceritakan Sultan Pasai meminta bantuan kepada Sultan Melaka untuk
meredam pemberontakan tersebut. Namun Kesultanan Pasai sendiri akhirnya runtuh
setelah ditaklukkan oleh Portugal tahun 1521 yang
sebelumnya telah menaklukan Melaka tahun 1511, dan
kemudian tahun 1524 wilayah
Pasai sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan
Aceh.
E.
Kerajaan
Aceh Darussalam
Kesultanan Aceh Darussalam merupakan
sebuah kerajaan Islam yang pernah berdiri di provinsi Aceh,
Indonesia. Kesultanan Aceh terletak di
utara pulau Sumatera dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh) dengan sultan pertamanya adalah
Sultan Ali
Mughayat Syah yang dinobatkan pada pada Ahad, 1 Jumadil awal 913 H atau pada tanggal 8 September 1507.
Dalam sejarahnya yang panjang itu (1496 - 1903),
Aceh telah mengukir masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan,
terutama karena kemampuannya dalam mengembangkan pola dan sistem pendidikan militer,
komitmennya dalam menentang imperialisme bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang
teratur dan sistematik, mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan,
hingga kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara lain.
Kesultanan
Aceh didirikan oleh Sultan Ali
Mughayat Syah pada tahun 1496. Pada awalnya
kerajaan ini berdiri atas wilayah Kerajaan Lamuri, kemudian menundukan dan
menyatukan beberapa wilayah kerajaan sekitarnya mencakup Daya,
Pedir,
Lidie,
Nakur.
Selanjutnya pada tahun 1524 wilayah Pasai
sudah menjadi bagian dari kedaulatan Kesultanan Aceh diikuti dengan Aru. Pada tahun 1528,
Ali Mughayat Syah digantikan oleh putera sulungnya yang bernama Salahuddin,
yang kemudian berkuasa hingga tahun 1537. kemudian Salahuddin
digantikan oleh Sultan
Alauddin Riayat Syah al-Kahar yang berkuasa hingga tahun 1568.
Kesultanan
Aceh mengalami masa keemasan pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar
Muda (1607 - 1636).
Pada masa kepemimpinannya, Aceh telah berhasil memukul mundur kekuatan Portugis
dari selat Malaka. Kejadian ini dilukiskan dalam La
Grand Encyclopedie bahwa pada tahun 1582, bangsa Aceh sudah
meluaskan pengaruhnya atas pulau-pulau Sunda (Sumatera, Jawa dan Kalimantan)
serta atas sebagian tanah Semenanjung Melayu. Selain itu Aceh juga melakukan
hubungan diplomatik dengan semua bangsa yang melayari Lautan Hindia. Pada tahun
1586, kesultanan Aceh melakukan penyerangan terhadap Portugis di Melaka dengan
armada yang terdiri dari 500 buah kapal perang dan 60.000 tentara laut.
Serangan ini dalam upaya memperluas dominasi Aceh atas Selat Malaka dan semenanjung Melayu.
Walaupun Aceh telah berhasil mengepung Malaka dari segala penjuru, namun
penyerangan ini gagal dikarenakan adanya persekongkolan antara Portugis dengan kesultanan Pahang.
Dalam
lapangan pembinaan kesusasteraan dan ilmu agama, Aceh telah melahirkan beberapa
ulama ternama, yang karangan mereka menjadi rujukan utama dalam bidang
masing-masing, seperti Hamzah Fansuri
dalam bukunya Tabyan Fi Ma'rifati al-U Adyan, Syamsuddin al-Sumatrani dalam bukunya Mi'raj al-Muhakikin al-Iman, Nuruddin Al-Raniri
dalam bukunya Sirat
al-Mustaqim, dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam bukunya Mi'raj al-Tulabb Fi Fashil.
Kemunduran
Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan Iskandar
Tsani pada tahun 1641. Kemunduran Aceh disebabkan oleh beberapa
faktor, di antaranya ialah makin menguatnya kekuasaan Belanda di pulau Sumatera
dan Selat Malaka.
F.
Kerajaan Islam Trumon
Kerajaan ini merupakan bagian dari kerajaan
Batak yang diakuisisi oleh Kesultanan Aceh setelah rajanya masuk Islam.
Bendera Kerajaan Trumon merupakan cikal-bakal bendera yang dipakai oleh Sisingamangaraja
XII. kerajaan Batak Sisingamangaraja XII disinyalir masih mempunyai
hubungan kekerabatan dengan Kerajaan di Singkil khususnya Kerajaan Trumon ini.
Karena sebelum diakuisisi oleh Aceh, Kerajaan Trumon merupakan provinsi dari Kesultanan Barus.
Kesultanan Barus di Kawasan Fansur, bukan yang Hulu,
didirikan oleh Keturunan Raja Uti dimana Raja Uti diyakini masih merupakan
"paman adat" Dinasti Sisingamangaraja di Bakkara. Sekarang ini masih
terdapat bangunan benteng di Trumon sebagai bukti sejarah kerajaan ini.
Bangunan benteng Kuta Batee dibangun ketika Kerajaan Trumon
dipimpin atau di bawah pemerintahan Teuku Raja Fansuri Alamsyah yang juga
dikenal dengan sebutan Teuku Raja Batak.
Dalam masa ini pula, Trumon meraih kejayaannya hingga
berhasil mencetak mata uang sendiri sebagai alat tukar yang sah. Teuku Raja
Batak ini merupakan raja ketiga, menggantikan ayahnya bernama Teuku Raja Bujang
yang sebelumnya menerima tahta dari kakeknya (ayah Raja Bujang) yaitu Teuku
Djakfar selaku pendiri Kerajaan Trumon dan Kerajaan Singkil.
Kerajaan Trumon didirikan oleh seorang saudagar sekaligus
pemuka agama (labai) berasal dari XXV Mukim Aceh Besar dalam abad ke-18. Ia tidak
lain adalah Labai Daffa (Labai Dafna-sebutan Belanda) yang nama aslinya adalah
Teuku Djakfar.
Raja ini sebelum mendirikan Kerajaan Trumon dan Singkil,
sempat belajar agama Islam di Ujung Serangga, Kecamatan Susoh, Aceh Barat Daya
sehingga meraih gelar labai atau teungku, panggilan ulama dalam masyarakat
Aceh.
Dengan demikian tidak heran, kalau Benteng Kuta Batee ini
akhirnya selamat dan terhindar dari bencana gelombang tsunami, berkat doa
Raja-raja Trumon yang terkenal alim heroik itu.
0 komentar:
Posting Komentar