BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Wacana
dan praksis tentang civil society belakangan ini semakin surut. Kecenderungan
ini sedikit mengherankan karena dalam “transisi” menuju demokrasi, seharusnya
wacana dan praksis civil society semakin kuat, bukan melemah. Alasannya,
eksistensi civil society merupakan salah satu diantara tiga prasyarat pokok
yang sangat esensial bagi terwujudnya demokrasi.
Mewujudkan
masyarakat madani adalah membangun kota budaya bukan sekedar merevitalisasikan
adab dan tradisi masyarakat local, tetapi lebih dari itu adalah membangun
masyarakat yang berbudaya agamis sesuai keyakinan individu, masyarakat
berbudaya yang saling cinta dan kasih yang menghargai nilai-nilai kemanusiaan .
Ungkapan
lisan dan tulisan tentang masyarakat madani semakin marak akhir-akhir ini
seiring dengan bergulirnya proses reformasi di Indonesia. Proses ini ditandai
dengan munculnya tuntutan kaum reformis untuk mengganti Orde Baru yang berusaha
mempertahankan tatanan masyarakat yang status quo menjadi tatanan masyarakat
yang madani. Untuk mewujudkan masyarakat madani tidaklah semudah membalikan
telapak tangan.
namun,
memerlukan proses panjang dan waktu serta menuntut komitmen masing-masing warga
bangsa ini untuk mereformasi diri secara total dan konsisten dalam suatu
perjuangan yang gigih.
Selanjutnya,
wacana tentang masyarakat madani oleh banyak bangsa dan masyarakat di negara berkembang,
secara antusias ikut dikaji, dikembangkan, dan di eliminasi, sebgaimana
realitas empiris yang dihadapi.
B.
Rumusan Masalah
Agar
tidak terjadi kesimpang siuran dari penuliasan makalah ini, maka rumusan
masalah dari makalah ini adalah:
1.
Apakah pengertian masyarakat madani?
2.
Apakah karakter mayarakat madani?
3.
Apakah pilar penegak masyarakat madani?
C.
Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah diatas maka tujuan penulisan yaitu:
1.
Untuk mengetahui pengertian masyarakat madani
2.
Untuk mengetahui karakter masyarakt madani
3.
Untuk mengetahui pilar penegak masyarakat madani
BAB II
PEMBAHASAN
1.
PENGERTIAN
MASYARAKAT MADANI
Konsep
Masyarakat Madani Istilah masyarakat Madani sebenarnya telah lama hadir di bumi,
walaupun dalam wacana akademi di Indonesia belakangan mulai
tersosialisasi. "Dalam bahasa Inggris ia lebih dikenal dengan sebutan
Civil Society". Sebab, "masyarakat Madani", sebagai terjemahan
kata civil society atau al-muftama' al-madani.
Istilah
civil society pertama kali dikemukakan oleh Cicero dalam filsafat politiknya
dengan istilah societies civilis, namun istilah ini mengalami perkembangan
pengertian. Kalau Cicero memahaminya identik dengan negara, maka kini dipahami
sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai "area tempat
berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan, kelompok wanita,
kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi sipil dari semua
kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan usahawan) berusaha
menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka dapat
mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan mereka.
Secara ideal masyarakat madani ini tidak hanya sekedar terwujudnya kemandirian
masyarakat berhadapan dengan negara, melainkan juga terwujudnya nilai-nilai
tertentu dalam kehidupan masyarakat, terutama keadilan, persamaan, kebebasan
dan kemajemukan (pluralisme)
Dalam
mendefinisikan tema masyarakat madani sangat bergantung pada kondisi social
cultural suatu bangsa, kareana bagai mana pun konsep masyarakat madani
merupakan bangunan tema terakhir dari sejarah bangsa Eropa Barat.Sebagai titik
tolak, disini dikemukakan beberapa definisi masyarakat madani menurut para ahli:
Pertama;
Definisi yang dikemukakan oleh Zbigniew Rew dangan latar belakang kajiannya
pada kawasan Eropa Timur dan Uni Sovyet.
Ia
mengatakan bahwa yang di maksud masyarakat madani merupakan suatu yang
berkembang dari sejarah, yang mengandalkan ruang dimana individu dan
perkumpulan tempat mereka bergabung bersaing satu sama lain guna mencapai
nilai-nilai yang mereka yakini. Maka yang dimaksud dengan masyarakat madani
adalah sebuah ruang yang bebas dari pengaruh keluarga dan kekuasaan Negara.
Kedua;
oleh Han-Sung-Joo ia mengatakan bahwa masyarakat madani merupakan sebuah
kerangka hukum yang melindungi dan menjamin hak-hak dasar individu. Perkumpulan
suka rela yang terbatas dari Negara suatu ruang publik yang mampu
mengartikulasi isu-isu politik. Gerakan warga Negara yang mampu mengendalikan
diri dan indenpenden, yang secara bersama-sama mengakui norma-norma dan budaya
yang menjadi indentitas dan solidaritas yang terbentuk pada akhirnya akan
terdapat kelompok inti dalam civil society.
Ketiga;
oleh Kim Sun Hyuk ia mengatakan bahwa yang dimaksud dengan masyarakat madani
adalah suatu satuan yang terdiri dari kelompok-kelompok yang secara mandiri
menghimpun dirinya dan gerakan-gerakan dalam msyarakat yang secara relative.
Secara
global dari ketiga batasan di atas dapat ditarik benang emas, bahwa yang
dimaksud dengan masyrakat madani adalah sebuah kelompok atau tatanan masyarakat
yang berdiri secara mandiri dihadapan penguasa dan Negara, yang memiliki ruang
publik dalam mengemukakan pendapat, adanya lembaga-lembaga yang mandiri yang
dapat mengeluarkan aspirasi dan kepentingan publik.
Keempat:
menurut Komaruddin Hidayat, dalam wacana keislaman di Indonesia, adalah
Nurcholish Madjid yang menggelindingkan istilah "masyarakat madani"
ini, yang spirit serta visinya terbakukan dalam nama yayasan Paramadinah
(terdiri dari kata "para" dan "madinah", dan atau
"parama" dan "dina"). Maka, secara "semantik"
artinya kira-kira ialah, sebuah agama (dina) yang excellent (paramount) yang
misinya ialah untuk membangun sebuah peradaban (madani).
Menurut
Komaruddin Hidayat, bagi kalangan intelektual Muslim kedua istilah (masyarakat
agama dan masyarakat madani) memilki akar normatif dan kesejarahan yang sama,
yaitu sebuah masyarakat yang dilandasi norma-norma keagamaan sebagaimana yang
diwujudkan Muhammad SAW di Madinah,
yang
berarti "kota peradaban", yang semula kota itu bernama Yathrib ke
Madinah difahami oleh umat Islam sebagai sebuah manifesto konseptual mengenai
upaya Rasulullah Muhammad untuk mewujudkan sebuah masyarakat Madani, yang
diperhadapkan dengan masyarakat Badawi dan Nomad (Kamaruddin Hidayat,
1999:267).
Untuk kondisi Indonesia sekarang, kata Madani
dapat diperhadapkan dengan istilah masyarakat Modern. Dari paparan di atas
dapat dikatakan bahwa, bentuk masyarakat madani adalah suatu komunitas
masyarakat yang memiliki "kemandirian aktivitas warga masyarakatnya"
yang berkembang sesuai dengan potensi budaya, adat istiadat, dan agama, dengan
mewujudkan dan memberlakukan nilai-nilai keadilan, prinsip kesetaraan
(persamaan), penegakan hukum, jaminan kesejahteraan, kebebasan, kemajemukan
(pluralisme), dan perlindungan terhadap kaum minoritas. Dengan demikian,
masyarakat madani merupakan suatu masyarakat ideal yang dicita-citakan dan akan
diwujudkan di bumi Indonesia, yang masyarakatnya sangat plural. Dari uraian di
atas, maka sangat perlu untuk mengetahui ciri masyarakat tersebut. Antonio
Rosmini, dalam “The Philosophy of Right, Rights in Civil Society” (1996: 28-50)
yang dikutip Mufid, menyebutkan pada masyarakat madani terdapat sepuluh ciri
yang menjadi karakteristik masyarakat tersebut, yaitu: Universalitas,
supermasi, keabadian, dan pemerataan kekuatan (prevalence of force) adalah
empat ciri yang pertama. Ciri yang kelima, ditandai dengan "kebaikan dari
dan untuk bersama". Ciri ini bisa terwujud jika setiap anggota masyarakat
memiliki akses pemerataan dalam memanfaatkan kesempatan (the tendency to
equalize the share of utility). Keenam, jika masyarakat madani "ditujukan
untuk meraih kebajikan umum" (the common good), kujuan akhir memang
kebajikan publik (the public good). Ketujuh, sebagai "perimbangan
kebijakan umum", masyarakat madani juga memperhatikan kebijakan perorangan
dengan cara memberikan alokasi kesempatan kepada semua anggotanya meraih
kebajikan itu. Kedelapan, masyarakat madani, memerlukan "piranti eksternal"
untuk mewujudkan tujuannya.
Piranti
eksternal itu adalah masyarakat eksternal. Kesembilan, masyarakat madani
bukanlah sebuah kekuatan yang berorientasi pada keuntungan (seigniorial or
profit). Masyarakat madani lebih merupakan kekuatan yang justru memberi manfaat
(a beneficial power). Kesepuluh, kendati masyarakat madani memberi kesempatan
yang sama dan merata kepada setiap warganya, tak berarti bahwa ia harus
seragam, sama dan sebangun serta homogin (Mufid, 1999:213). Lebih lanjut,
menurut Mufid, menyatakan bahwa masyarakat madani terdiri dari berbagai warga
beraneka "warna", bakat dan potensi. Karena itulah, masyarakar madani
di sebut sebagai masyarakat "multi-kuota" (a multi quota society).
Maka, secara umum sepuluh ciri tersebut sangat ideal, sehingga mengesankan
seolah tak ada masyarakat seideal itu. Kalau ada, yaitu masyarakat muslim yang
langsung dipimpin oleh Nabi SAW yang relatif memenuhi syarat tersebut. Memang,
masyarakat seideal masyarakat “madinah” telah diisyaratkan oleh Nabi Muhammad SAW
dalam sabdanya, "tak ada satupun masyarakat di dunia ini yang sebaik
masyarakat atau sebaik-baik masa adalah masaku" (ahsanul qurun qarni) -
terlepas dari status sahih dan tidaknya sabda ini, ataupun siapa periwayatnya
(Mufid, 1999:213-214). Diakui bahwa masyarakat Madinah yang dipimpin langsung
oleh Nabi Muhammad SAW merupakan prototype masyarakat idial. Maka, prototype
masyarakat madani tersebut, pada era reformasi ini, nampaknya akan upayakan
untuk diwujudkan di Indonesia atau dengan kata lain akan ditiru dalam wacana
masyarakat Indonesia yang sangat pluralis.
2. KARAKTERISTIK MASYARAKAT MADANI
Karaketeristik
masyarakat madani dimaksudkan untuk menjelaskan dalam merealisasikan wacana
masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai universal
dalam penegakan masyarakat madani, karateristik tersebut antara lain:
1.
Free
public sphere (ruang publik yang bebas), yaitu masyarakat memiliki akses penuh
terhadap setiap kegiatan publik, mereka berhak melakukan kegiatan secara
merdeka dalam menyampaikan pendapat, berserikat, berkumpul, serta
mempublikasikan informasikan kepada publik.
2.
Demokratisasi,
yaitu proses untuk menerapkan prinsip-prinsip demokrasi sehingga muwujudkan
masyarakat yang demokratis. Untuk menumbuhkan demokratisasi dibutuhkan kesiapan
anggota masyarakat berupa kesadaran pribadi, kesetaraan, dan kemandirian serta
kemampuan untuk berperilaku demokratis kepada orang lain dan menerima perlakuan
demokratis dari orang lain. Demokratisasi dapat terwujud melalui penegakkan
pilar-pilar demokrasi yang meliputi :
a. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
b. Pers yang bebas
c. Supremasi hokum
d. Perguruan Tinggi
e. Partai politik
3.
Toleransi,
yaitu kesediaan individu untuk menerima pandangan-pandangan politik dan sikap
sosial yang berbeda dalam masyarakat, sikap saling menghargai dan menghormati
pendapat serta aktivitas yang dilakukan oleh orang/kelompok lain.
4.
Pluralisme,
yaitu sikap mengakui dan menerima kenyataan mayarakat yang majemuk disertai
dengan sikap tulus, bahwa kemajemukan sebagai nilai positif dan merupakan
rahmat dari Tuhan Yang Maha Kuasa.
5.
Keadilan
sosial (social justice), yaitu keseimbangan dan pembagian yang proporsiaonal
antara hak dan kewajiban, serta tanggung jawab individu terhadap lingkungannya.
6.
Partisipasi
sosial, yaitu partisipasi masyarakat yang benar-benar bersih dari rekayasa,
intimidasi, ataupun intervensi penguasa/pihak lain, sehingga masyarakat
memiliki kedewasaan dan kemandirian berpolitik yang bertanggungjawab.
7.
Supremasi
hukum, yaitu upaya untuk memberikan jaminan terciptanya keadilan. Keadilan
harus diposisikan secara netral, artinya setiap orang memiliki kedudukan dan
perlakuan hukum yang sama tanpa kecuali.
Adapun
yang masih menjadi kendala dalam mewujudkan masyarakat madani di Indonesia
diantaranya
a.
Kualitas
SDM yang belum memadai karena pendidikan yang belum merata
b.
Masih
rendahnya pendidikan politik masyarakat
c.
Kondisi
ekonomi nasional yang belum stabil pasca krisis moneter
d.
Tingginya
angkatan kerja yang belum terserap karena lapangan kerja yang terbatas
e.
Pemutusan
Hubungan Kerja (PHK) sepihak dalam jumlah yang besar
f.
Kondisi
sosial politik yang belum pulih pasca reformasi
3. PILAR PENEGAK MASYARAKAT MADANI
Yang
dimaksud dengan pilar masyarakat madani adalah institusi-institusi yang menjadi
bagian dari sosial control yang berfungsi mengkritisi kebijakan-kebijakan
penguasa yang diskriminatif serta mampu memperjuangkan aspirasi masyarakat yang
tertindas. Dalam penegakkan masyrakat madani, pilar-pilar tersebut menjadi
persyaratan mutlak bagi terwujudnya kekuatan masyarakat madani, pilar-pilar tersebut
antara lain adalah:
1.
Lembaga
Swadaya masyarakat adalah institusi sosial yang dibentuk oleh swadaya masyrakat
yang tugas esensinya adalah membantu dan memperjuangkan aspirasi dan
kepentingan masyarakat yang tertindas.
2. Pers
merupakan institusi yang penting dalam penegakan masyarakat madani, karena
kemungkinannya dapat mengkiritis dan menjadi bagian dari sosial control yang
dapat menganalisa serta mempublikasikan berbagai kebijakan pemerintah yang
berkenaan dengan warga negaranya.
3. Supremasi
Hukum; setiap warga Negara, baik yang duduk dalam formasi pemerintahan maupun
sebagai rakyat, harus tunduk kepada (aturan) hukum.
4. Perguruan
tinggi; yakni tempat dimana civitas akademikanya (dosen dan mahasiswa)
merupakan bagian dari kekuatan sosial dan masyarakat madani yang bergerak pada
jalur moral Force untuk menyalurkan aspirasi masyrakat dan mengkritisi berbagai
kebijakan-kebijakan pemerintah, dengan catatan gerakan yang dilancarkan oleh
mahasiswa tersebut. Menurut Riswandi Immawan, perguruan tinggi memiliki tiga
peranan dalam mewujudkan masyarakat madani. Pertama, pemihakan yang tegas pada
prinsip egalitarianisme yang menjadi dasar kehidupan politik yang demokratis,
kedua membangun mengembangkan dan mempublikasikan informasi secara objektif dan
tidak manipulatif. Ketiga melakukan tekanan terhadap ketidakadilan dengan cara
santun dan saling menghormati.
5.
Partai
politik merupakan wahana bagi warga Negara untuk dapat menyalurkan asipirasi
politiknya dan tempat ekspresi politik warga Negara, maka partai politik ini
menjadi persyaratan bagi tegaknya masyrakat madani.
4. MASYARAKAT MADANI INDONESIA
Masyarakat
madani jika dipahami secara sepintas merupakan format kehidupan alternative
yang mengedepankan semangat demokrasi dan menjunjung tinggi nilai hak asasi
manusia. Konsep masyarakat madani menjadi alternative pemecahan, dengan
pemberdayaan dan penguatan daya control masyarakat terhadap kebijakan-kebijakan
pemerintah yang akhirnya nanti terwujud kekuatan masyarakat yang mampu
merealisasikan dan menegakkan konsep hidup yang demokratis dan menghargai
hak-hak asasi manusia.
Berkembangnya
masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan
pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat dan kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai
lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial
control.
Secara
esensial Indonesia memang membutuhkan pemberdayaan dan penguatan masyarakat
secara komprehensif agar memiliki wawasan dan kesadaran demokrasi yang baik
serta mampu menjunjung tinggi nilai-nilai hak asasi manusia. Untuk itu, maka
diperlukan pengembangan masyarakat madani dengan menerapkan strategi sekaligus
agar proses pembinaan dan pemberdayaan itu mencapai hasilnya secara optimal.
Menurut
Dawan ada tiga strategi yang salah satunya dapat digunakan sebagai strategi
dalam memberdayakan masyrakat madani Indonesia, yaitu :
a. Strategi yang lebih mementingkan
integrasi nasional dan politik. Strategi ini berpandangan bahwa sistem
demokrasi tidak mungkin berlangsung dalam masyarakat yang belum memiliki
kesadaran berbangsa dan bernegara yang kuat.
b. Strategi yang lebih mengutamakan
reformasi sistem politik demokrasi. Strategi ini berpandangan bahwa untuk
membangun ekonomi.
c. Strategi yang memilih membangun
masyarakat madani sebagai basis yang kuat kearah demokratisasi.
Fakta
model strategi pemberdayaan masyarakat madani tersebut dipertegas oleh Hakim
bahwa di Era transisi ini harus dipikirkan prioritas-prioritas pemberdayaan
dengan cara memahami target-target group yang paling strategis serta penciptaan
pendekatan-pendekatan yang tepat di dalam proses.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Mayarakat
madani dipahami sebagai kemandirian aktivitas warga masyarakat madani sebagai
"area tempat berbagai gerakan sosial" (seperti himpunan ketetanggaan,
kelompok wanita, kelompok keagamaan, dan kelompk intelektual) serta organisasi
sipil dari semua kelas (seperti ahli hukum, wartawan, serikat buruh dan
usahawan) berusaha menyatakan diri mereka dalam suatu himpunan, sehingga mereka
dapat mengekspresikan diri mereka sendiri dan memajukkan pelbagai kepentingan
mereka.
Karakteristik
masyarakat madani diperlukan persyaratan-persyaratan yang menjadi nilai
universal dalam penegakkan masyarakat madani. Diantaranya yaitu ruang public
yang bebas, demokratisasi, toleransi, pluralisme, keadilan social, partisipasi
social, dan supremasi hukum.
Masyarakat
madani juga harus mempunyai pilar-pilar penegak, karena berfungsi sebagai
mengkritisi kebijakan-kebijakan penguasa yang diskriminatif serta mampu
memperjuangkan aspirasi masyarakat yang tertindas.
Berkembangnya
masyarakat madani di Indonesia diawali dengan kasus-kasus pelanggaran HAM dan
pengekangan kebebasan berpendapat, berserikat, dan kebebasan untuk mengeluarkan
pendapat dimuka umum kemudian dilanjutkan dengan munculnya berbagai
lembaga-lembaga non pemerintah mempunyai kekuatan dan bagian dari sosial
control.
DAFTAR
PUSTAKA
Azyumardi,
Azra, Demokrasi, Hak Asasi Manusia, dan
Masyarakat Madani,
Jakarta,
Tim ICCE UIN, Jakarta, 2000
2 komentar:
ijin copas yah
okeh
maaf ! uda lma ngk online
jgn lupa baca buku juga ya, referensi tambahan gitu :-)
Posting Komentar