Sabtu, 05 Oktober 2013

MENGENAL LEBIH DEKAT RASIONALISME DAN EMPIRISME DALAM FILSAFAT ILMU

Dalam ilmu filsafat terdapat satu cabang ilmu di dalamnya yaitu ilmu logika. Logika adalah ilmu yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur (Rapar, 1996). Dan pada dasarnya penalaran dalam logika ada dua, yakni deduktif dan induktif. Penalaran deduktif, yang biasa disebut logika deduktif adalah sebuah penalaran yang membangun atau mengevaluasi argumen deduktif. Argumen dinyatakan deduktif jika kebenaran dari kesimpulan ditarik atau merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Argumen deduktif dinyatakan valid atau tidak valid, bukan benar atau salah. Sebuah argumen deduktif dinyatakan valid jika dan hanya jika kesimpulannya merupakan konsekuensi logis dari premis-premisnya. Contoh kalimat deduktif, “Setiap mamalia punya sebuah jantung”, “Semua kuda adalah mamalia”, “Setiap kuda punya sebuah jantung”. Sedangkan penalaran induktif, biasa disebut logika induktif adalah sebuah penalaran yang berangkat dari serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum. Contoh kalimat induktif, “Kuda Indonesia punya sebuah jantung”, “Kuda Australia punya sebuah jantung”, “Kuda Amerika punya sebuah jantung”.
Baik logika deduktif maupun logika induktif, dalam proses penalarannya, mempergunakan premis-premis yang berupa pengetahuan yang dianggapnya benar. Kenyataan ini tentu membawa kita kepada sebuah pernyataan, bagaimanakah caranya kita mendapatkan pengetahuan yang benar itu? Pada dasarnya terdapat dua cara yang pokok bagi manusia untuk mendapatkan pengetahuan yang benar. Yang pertama adalah berdasarkan pada rasio dan yang kedua berdasarkan diri  kepada pengalaman. Kaum rasionalis mengembangkan paham apa yang kita kenal dengan rasionalisme. Sedangkan mereka yang mendasarkan diri kepada pengalaman mengembangkan paham yang disebut dengan empirisme. (Soemantri, 2001)
RASIONALISME
Rasionalisme atau gerakan rasionalis adalah sebuah faham atau aliran atau ajaran atau doktrin filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio, fakta, ide-ide yang masuk akal daripada analisis yang melalui iman, dogma, atau ajaran agama. Rasionalisme mempunyai kemiripan dari segi ideologi dan tujuan dengan humanisme dan atheisme, dalam hal bahwa mereka bertujuan untuk menyediakan sebuah wahana bagi diskursus sosial dan filsafat di luar kepercayaan keagamaan. Meskipun hampir sama, namun ada perbedaan dengan kedua bentuk tersebut humanisme dan atheisme dengan rasionalisme.
Humanisme lebih dipusatkan kepada masyarakat manusia dan keberhasilannya, sedangkan rasionalisme tidak mengklaim bahwa manusia lebih penting daripada hewan atau elemen alamiah lainnya. Oleh karena itu ada juga rasionalis-rasionalis yang dengan tegas menentang filosofi humanisme yang antroposentrik. Sedangkan Atheisme adalah suatu keadaan tanpa kepercayaan akan adanya Tuhan atau dewa-dewa. Rasionalisme tidak menyatakan pernyataan apapun mengenai adanya dewa-dewi meski ia menolak kepercayaan apapun yang hanya berdasarkan iman. Meski ada pengaruh atheisme yang kuat dalam rasionalisme modern, tapi tidak seluruh rasionalis adalah atheis. (Wikipedia, 2010)
Selain hal tersebut di atas, dan di luar diskusi keagamaan, rasionalisme dapat diterapkan secara lebih umum, misalnya kepada masalah-masalah politik atau sosial. Dalam kasus-kasus seperti ini, yang menjadi ciri-ciri penting dari perpektif para rasionalis adalah penolakan terhadap perasaan (emosi), adat-istiadat atau kepercayaan yang sedang populer.
 Rasionalisme ini sendiri berlangsung sejak zaman pertengahan abad ke XVII sampai akhir abad ke XVIII. Pada zaman ini hal yang khas bagi ilmu pengetahuan adalah penggunaan yang eksklusif daya akal budi (ratio) untuk menemukan kebenaran. Ternyata, penggunaan akal budi yang demikian tidak sia-sia, melihat tambahan ilmu pengetahuan yang besar sekali akibat perkembangan yang pesat dari ilmu-ilmu alam. Maka tidak mengherankan bahwa pada abad-abad berikutnya, orang-orang yang terpelajar makin percaya pada akal budi mereka sebagai sumber kebenaran tentang hidup dan dunia.
Hal ini menjadi sangat terlihat lagi pada abad ke XVII dan lebih lagi selama abad XVIII, yaitu antara lain karena adanya pandangan baru terhadap dunia yang diberikan oleh Isaac Newton (1643 -1727). Berkat sarjana geniaal Fisika Inggris ini, Fisika menurutnya terdiri dari bagian-bagian kecil (atom) yang berhubungan satu sama lain menurut hukum sebab akibat. Semua gejala alam harus diterangkan menurut jalan mekanis ini. Harus diakui bahwa Newton sendiri memiliki suatu pemahaman yang mendalam tentang batas akal budi dalam mengejar kebenaran melalui ilmu pengetahuan. Sebelumnya orang-orang hanya hidup berdasarkan kepercayaan yang makin kuat saja dan dalam kekuasaan akal budi yang membelenggu, sehingga membuat orang-orang yang hidup pada abad sebelum lahirnya rasionalisme dapat dipandang sebagai manusia yang hidup dalam kegelapan. Baru dalam abad XVIII, saat mereka telah berhasil menaikkan obor terang yang menciptakan manusia dan masyarakat modern yang telah dirindukan disebut juga sebagai  zaman Aufklarung (pencerahan).
Pada pertengahan abad ke-20, ada tradisi kuat rasionalisme yang terencana, yang dipengaruhi secara besar oleh para pemikir bebas dan kaum intelektual. Kaum rasionalis mempergunakan metode deduktif dalam menyusun pengetahuannya. Premis yang dipakai dalam penalarannya didapatkan dari ide yang menurut anggapannya jelas dan dapat diterima. Ide ini menurut mereka bukanlah ciptaan pikiran manusia. Prinsip itu sendiri sudah ada jauh sebelum manusia berusaha memikirkannya. Paham ini dikenal dengan nama idealisme. Fungsi pikiran manusia hanyalah mengenali pikiran tersebut yang lalu menjadi pengetahuannya. Prinsip itu sendiri sudah ada dan bersifat apriori dan dapat diketahui oleh manusia lewat kemampuan berpikir rasionalnya. Pengalaman tidaklah membuahkan prinsip dan justru sebaliknya, hanya dengan mengetahui prinsip yang didapat lewat penalaran rasional itulah maka kita dapat mengerti kejadian-kejadian yang berlaku dalam alam sekitar kita. Secara singkat dapat dikatakan bahwa ide bagi kaum rasionalis adalah bersifat apriori dan prapengalaman yang didapatkan manusia lewat penalaran rasional.
Masalah utama yang timbul dari cara berpikir ini adalah mengenai kriteria untuk mengetahui akan kebenaran dari suatu ide yang menurut seseorang adalah jelas dan dapat dipercaya. Ide yang satu bagi si A mungkin bersifat jelas dan dapat dipercaya namun hal itu belum tentu bagi si B. mungkin saja bagi si B menyusun system pengetahuan yang sama sekali dengan sistem pengetahuan si A karena si B mempergunakan ide lain yang bagi si B merupakan prinsip yang jelas dan dapat dipercaya. Jadi masalah utama yang dihadapi kaum rasionalis adalah evakuasi dari kebenaran premis-premis yang dipakainya dalam penalaran deduktif. Karena premis-premis ini semuanya bersumber pada penalaran rasional yang bersifat abstrak dan terbebas dari pengalaman maka evaluasi semacam ini tak dapat dilakukan. Oleh sebab itu maka lewat penalaran rasional akan didapatkan bermacam-macam pengetahuan mengenai satu obyek tertentu tanpa adanya suatu konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Dalam hal ini maka pemikiran rasional cenderung untuk bersifat solipsistik dan subyektif. (Soemantri, 2001)
Tokoh-tokohnya penggagas rasionalisme adalah :
1.      Rene Descartes (1596 -1650)
2.      Nicholas Malerbranche (1638 -1775)
3.      De Spinoza (1632 -1677 M)
4.      G.W.Leibniz (1946-1716)
5.      Christian Wolff (1679 -1754)
6.      Blaise Pascal (1623 -1662 M)

EMPIRISME
Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa semua pengetahuan berasal dari pengalaman manusia. Empirisme menolak anggapan bahwa manusia telah membawa fitrah pengetahuan dalam dirinya ketika dilahirkan. Empirisme lahir di Inggris dengan tiga eksponennya adalah David Hume, George Berkeley dan John Locke. (Wikipedia, 2011)
Empirisme berasal dari kata Yunani yaitu "empiris" yang berarti pengalaman inderawi. Oleh karena itu empirisme dapat dikatakan sebagai faham yang memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan. Dan yang dimaksudkan dengan pengalaman adalah baik pengalaman lahiriyah yang menyangkut dunia maupun pengalaman batiniyah yang menyangkut pribadi manusia.
Pada dasarnya Empirisme sangat bertentangan dengan Rasionalisme. Rasionalisme mengatakan bahwa pengenalan yang sejati berasal dari rasio, sehingga pengenalan inderawi merupakan suatu bentuk pengenalan yang kabur. Sebaliknya Empirisme berpendapat bahwa pengenalan berasal dari pengalaman sehingga pengenalan inderawi merupakan pengenalan yang paling jelas dan sempurna.
Kaum yang beraliran Empirisme biasanya berpendirian bahwa pengetahuan didapat melalui penampungan yang secara pasif menerima hasil-hasil penginderaan tersebut. Ini berarti semua pengetahuan betapapun rumitnya dapat dilacak kembali dan apa yang tidak dapat dilacak kebenarannya bukanlah ilmu pengetahuan. Pengetahuan manusia itu bukan didapatkan lewat penalaran rasional yang abstrak namun lewat pengalaman yang kongkret.
Gejala-gejala alamiah menurut anggapan kaum empiris adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat tangkapan pancaindera manusia. Gejala itu kalau kita telaah lebih lanjut mempunyai beberapa karakteristik tertentu umpamanya saja terdapat pola yang teratur mengenai suatu kejadian tertentu. Suatu benda padat kalau dipanaskan akan memanjang. Langit mendung diikuti dengan turunnya hujan. Demikian seterusnya di mana pengamatan kita akan membuahkan pengetahuan mengenai berbagai gejala yang mengikuti pola-pola tertentu. Di samping itu kita melihat adanya karakteristik lain yakni adanya kesamaan dan pengulangan umpamanya saja bermacam-macam logam kalau kita panaskan akan memanjang. Hal ini memungkinkan kita untuk melakukan sesuatu generalisasi dari berbagai kasus yang telah terjadi. Dengan mempergunakan metode induktif maka dapat disusun pengetahuan yang berlaku secara umum lewat pengamatan terhadap gejala-gejala fisik yang bersifat individual.
Selain kaum Empirisme, ada juga kaum yang disebut kaum Empirisme radikal, yaitu kaum yang berpendirian kuat bahwasanya semua pengetahuan dapat dilacak sampai kepada pengalaman inderawi dan apa yang tidak dapat dilacak bukan pengetahuan. Lebih lanjut penganut Empirisme mengatakan bahwa pengalaman tidak lain akibat suatu objek yang merangsang alat-alat inderawi, kemudian di dalam otak dipahami dan akibat dari rangsangan tersebut dibentuklah tanggapan-tanggapan mengenai objek yang telah merangsang alat-alat inderawi tersebut. Empirisme memegang peranan yang amat penting bagi pengetahuan, malah barangkali merupakan satu-satunya sumber dan dasar ilmu pengetahuan menurut penganut Empirisme. Pengalaman inderawi sering dianggap sebagai pengadilan yang tertinggi.
Masalah utama yang timbul dalam penyusunan pengetahuan secara empiris ini ialah bahwa pengetahuan yang dikumpulkan itu cenderung untuk menjadi suatu kumpulan fakta-fakta. Kumpulan tersebut belum tentu bersifat konsisten dan mungkin saja terdapat hal-hal yang bersifat kontradiktif. Suatu kumpulan mengenai fakta, atau kaitan antara berbagai fakta, belum menjamin terwujudnya suatu sistem pengetahuan yang sistematis; kecuali kalau dia hanya “seorang kolektor barang-barang serbaneka”. Lebih jauh Einstein mengingatkan bahwa tak terdapat metode induktif yang memungkinkan berkembangnya konsep dasar suatu ilmu.
Kaum empiris menganggap bahwa dunia fisik adalah nyata karena merupakan gejala yang tertangkap oleh pancaindera. Hal ini membawa kita pada dua masalah. Pertama, sekiranya kita mengetahui dua fakta yang nyata, umpamanya rambut keriting dan inteligensi manusia, bagaimana kita merasa pasti mengenai kaitan antara kedua fakta tersebut? Apakah rambut keriting dan inteligensi manusia mempunyai kaitan satu sama lain dalam hubungan kausalitas? Sekiranya kita mengatakan tidak, bagaimana sekiranya penalaran induktif membuktikan sebaliknya?
Pertanyaan tersebut mengingatkan kita bahwa hubungan antara berbagai fakta tidaklah nyata sebagaimana yang kita sangka. Harus terdapat suatu kerangka pemikiran yang member latar belakang mengapa X mempunyai hubungan dengan Y, sebab kalau tidak, maka pada hakekatnya semua fakta dalam dunia fisik bisa saja dihubungkan dalam kaitan kausalitas.
Masalah yang kedua adalah mengenai hakikat pengalaman yang merupakan cara dalam menemukan pengetahuan dan pancaindera sebagai alat yang menangkapnya. Pertanyaannya adalah apakah yang sebenarnya dinamakan pengalaman? Apakah hal ini merupakan stimulus pancaindera? Ataukah persepsi? Ataukah sensasi? Sekiranya kita mendasarkan diri kepada pancaindera sebagai alat dalam menangkap gejala fisik yang nyata maka seberapa jauh kita dapat mengandalkan pancaindera tersebut?
Ternyata kaum empiris tidak bisa memberikan jawaban yang meyakinkan mengenai hakikat pengalaman itu sendiri. Sedangkan mengenai kekurangan pancaindera manusia ini bukan merupakan sesuatu yang baru bagi kita. Pancaindera manusia sangat terbatas kemampuannya dan terlebih penting lagi pancaindera manusia bisa melakukan kesalahan. Contoh yang biasa kita lihat sehari-hari ialah bagaimana tongkat lurus yang sebagian terendam di dalam air akan kelihatan bengkok. Haruslah kita mempercayai hal semacam ini sebagai dasar untuk menyusun pengetahuan? (Soemantri, 2001)

Tokoh-tokoh penggagas Empirisme adalah:
1.      Francis Bacon (1210 -1292)
2.      Thomas Hobbes ( 1588 -1679)
3.      John Locke ( 1632 -1704)
4.      George Berkeley ( 1665 -1753)
5.      David Hume ( 1711 -1776)
6.      Roger Bacon ( 1214 -1294)

KESIMPULAN

Pada hakikatnya ilmu filsafat adalah ilmu yang mengkritisi bagaimana sebuah pengetahuan dapat dipertanggungjawabkan kebenaran dan kelurusannya berdasarkan ilmu logika. Ilmu logika sendiri adalah ilmu yang mempelajari kecakapan untuk berpikir secara lurus, tepat, dan teratur. Dan dalam memperoleh kebenaran dan kelurusan dari pengetahuan tersebut dapat menggunakan rasio dan empiris.
Rasio adalah sumber pengetahuan dari analisis pikiran rasionalisme atau gerakan rasionalis. Rasionalisme sendiri adalah sebuah faham atau aliran atau ajaran atau doktrin dalam filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian, logika, dan analisis yang berdasarkan rasio, fakta, ide-ide yang masuk akal daripada analisis yang hanya berdasarkan kepercayaan seperti iman, dogma, atau ajaran agama.
Sedangkan empiris adalah sumber pengetahuan yang berdasarkan analisis empirisme. Empirisme sendiri adalah suatu faham atau aliran dalam filsafat yang menyatakan bahwa kebenaran haruslah ditentukan melalui pembuktian dari pengalaman dan panca indera manusia. Sehingga apabila kebenaran dari pengetahuan tersebut tidak berasal dari pengalaman dan daya tangkap panca indera manusia maka tidak dapat dikatakan pengetahuan yang benar.

Sehingga dapat disimpulkan, tidak ada satupun yang salah dari dua sumber dalam mencari kebenaran dari sebuah pengetahuan, baik melalui rasio maupun melalui empiris. Justru sebuah pengetahuan yang shahih akan lebih dapat diterima masyarakat luat terutama oleh penerima pengetahuan dari si pemberi pengetahuan apabila pengetahuan tersebut telah memiliki sumber dari rasio yang tinggi serta ide-ide yang masuk akal dan yang terlebih telah dibuktikan lagi kebenaran pengetahuan tersebut melalui empiris atau pengalaman maupun observasi. 

0 komentar:

Posting Komentar